Senin, 06 September 2021

Cerpen Inspiratif Pagar Mangkok (Bagian 1)

Cerpen inspiratif berjudul "Pagar Mangkok" ini terinspirasi dari pengalaman sebuah keluarga yang tinggal di perkampungan di pinggir ibukota.




“Astaghfirullah……Makasih banyak atas infonya. Insyaallah, besok aku berangkat ke Tangerang,” jawab Mas Wahyu kepada orang yang meneleponnya.

“Dik, rumah kita kebanjiran” kata Mas Wahyu sembari meletakkan handphonenya di atas meja.

“Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’uun ….kok bisa Mas?” tanyaku penuh selidik.

“Kata Fatkhur, ada tetangga yang menutup saluran air kita,” jawab Mas Adi. Fatkhur adalah teman satu kantor Mas Wahyu yang tinggal di samping rumah baru kami.

“Besok, Mas dulu yang berangkat ke Tangerang . Adik dan Azzam di Blitar dulu. Insyaallah minggu depan, Mas jemput,” jelas Mas Wahyu.

“Iya, Mas. Semoga semuanya baik-baik saja,” jawabku.

Dalam hati aku berdoa, semoga proses kepindahan kami dari Blitar ke Jakarta diberi kemudahan dan kelancaran. 

***

            “Semua sudah siap, Nduk?” Sambil menggendong Azzam, anakku, Ibu menanyakan persiapanku menjelang keberangkatanku ke Tangerang.

            “Insyaallah, sampun Bu,” jawabku lirih sambil menunduk. Aku tidak mau Ibu mengetahui kegundahan hati yang sedang kualami.

            Tetapi, perasaan seorang ibu memang tidak bisa dibohongi. Dengan lembut, Ibu menghampiriku dan membelai kepalaku.

            “Ada masalah apa, Nduk?”

            “Hmm…jujur saya takut, Bu. Kujawab pertanyaan ibu, sambil menarik nafas dalam.

            “Sebentar lagi, saya harus tinggal di daerah yang jauh dari Bapak dan Ibu.”

Dari kecil sampai berkeluarga, aku memang tidak pernah tinggal terpisah dari kedua orangtuaku. Besok, untuk pertama kalinya aku akan tinggal jauh dari mereka. Aku akan pindah ke Tangerang untuk mengikuti suamiku.

            “Wajar Nduk, kalau kamu takut. Tetapi, insyaallah semua itu akan bisa kamu jalani dengan baik jika hubunganmu dengan Allah juga baik. Jaga sholatmu, patuhi suamimu dan didik anakmu dengan baik.” Ibu memberiku nasihat dengan suara lembut.

            Inggih, Bu,” jawabku takzim. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.

            Ibu memelukku erat. Di balik pelukannya yang hangat, aku dapat merasakan, bahwa sebenarnya ibu juga sangat berat berpisah denganku.

            “Doakan Ajeng dan keluarga Ajeng nggih, Bu”, pintaku. Kulihat sambil mata ibu yang sudah berkaca-kaca.

            “Iya Nduk, insyaallah doa ibu dan bapak selalu menyertai kalian,” jawab Ibu sambil menahan isak tangis.

            “Oh ya, Nduk, satu lagi pesan Ibu. Nanti kamu akan tinggal di lingkungan yang baru. Berbuat baiklah kepada tetanggamu. Sebagaimana kata orang dulu, “pagar mangkok” itu lebih kuat daripada pagar tembok atau pagar besi,” pesan Ibu sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya.

***

Setelah menempuh perjalanan hampir dua belas jam, aku dan keluarga kecilku tiba di Stasiun Kereta Api Senin. Alhamdulillah, kereta api yang kami tumpangi tiba tepat waktu. Selama perjalanan Azzam tidak terlalu rewel dan ia bisa tidur dengan nyenyak. Dari Stasiun Kereta Api Senin, kami menyewa taksi online untuk melanjutkan perjalanan ke Tangerang.

Pukul 08.23 WIB, kami tiba di Tangerang. Untuk pertama kalinya aku dan Azzam menginjakkan kaki di kota yang mendapat julukan Kota Seribu Industri ini. Sedangkan bagi Mas Wahyu ini sudah kesekian kalinya. Sudah hampir satu tahun, Mas Wahyu bertugas di kota ini.

“Berhenti di sini, Pak?” tanya sopir taksi online.

“Iya, Pak,” jawab Mas Wahyu.

“Ayo Dik, kita turun di sini!” Mas Wahyu mengajakku keluar dari mobil.

Kami harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Lebar jalan di depan rumah yang akan kami huni hanya satu meter, sehingga tidak bisa dilewati mobil

“Alhamdulillah, kita sudah sampai dik,” kata Mas Wahyu di depan sebuah rumah dengan cat warna hijau. Rumah berukuran enam puluh meter persegi itu sudah tampak rapi dan bersih dari luar, tidak terlihat seperti rumah yang baru kebanjiran.

“Alhamdulillah,” jawabku sambil tersenyum bahagia.

***

“Assalamu’alaikum.” Aku mendengar suara seorang laki-laki mengucap salam di depan pintu rumah kami.

“Wa’alaikumsalam warohmatullahi wabarokatu,” jawab Mas Wahyu dari ruang tamu.

“Eh…Fatkhur, ayo silahkan masuk,” ajak Mas Wahyu dengan suara riang.

Mas Wahyu dan Fatkhur duduk beralaskan tikar di ruang tamu. Teh manis dan opak gambir kuhidangkan untuk menemani obrolan mereka.

“Selamat datang di Kampung Keramik, Yu,” kata Fatkhur sambil tersenyum.

“Makasih banyak,” jawab Mas Wahyu sambil tersenyum.

“Oh ya, bagaimana solusinya untuk masalah saluran air kemarin?” Mas Wahyu menanyakan kelanjutan kejadian penutupan saluran air yang terjadi sebelum kepindahan kami.

“Orangnya meminta uang Rp 500.000,- untuk uang sewa saluran air yang melewati tanahnya,” jawab Fatkhur.

“Begitu ya…Ya sudah, kita ikuti dulu apa mau mereka. Semoga ke depannya kita bisa menemukan solusi yang lebih baik.”

Mas Wahyu paham situasi yang dihadapinya sekarang, tidak memberi kemungkinan untuk membuat pilihan. Satu-satunya pilihan adalah berusaha menempatkan diri sebaik mungkin di lingkungan yang baru.

.Percakapan Mas Wahyu dan Fatkhur berakhir ketika adzan Maghrib berkumandang.

“Dik, aku dan Azzam salat Maghrib dulu. Assalamu’alaikum.” Sambil menggandeng Azzam, Mas Wahyu dan Fatkhur menuju mushola yang berada tidak jauh dari rumah kami.

“Wa’alaikumsalam,” jawabku sambil menutup pintu rumah.


Apakah permasalahan yang dihadapi tokoh cerpen di atas bisa terselesaikan dengan baik? Baca kelanjutannya di Cerpen Inspiratif Pagar Mangkok (Bagian 2)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar