“Astaghfirullah……Makasih banyak atas
infonya. Insyaallah, besok aku berangkat ke Tangerang,” jawab Mas Wahyu kepada
orang yang meneleponnya.
“Dik, rumah kita kebanjiran” kata Mas
Wahyu sembari meletakkan handphonenya di atas meja.
“Inna lillahi wa inna ilaihi
rooji’uun ….kok bisa Mas?” tanyaku penuh selidik.
“Kata Fatkhur, ada tetangga yang
menutup saluran air kita,” jawab Mas Adi. Fatkhur adalah teman satu kantor Mas
Wahyu yang tinggal di samping rumah baru kami.
“Besok, Mas dulu yang berangkat ke Tangerang
. Adik dan Azzam di Blitar dulu. Insyaallah minggu depan, Mas jemput,” jelas
Mas Wahyu.
“Iya, Mas. Semoga semuanya baik-baik
saja,” jawabku.
Dalam hati aku berdoa, semoga proses
kepindahan kami dari Blitar ke Jakarta diberi kemudahan dan kelancaran.
***
“Semua
sudah siap, Nduk?” Sambil menggendong Azzam, anakku, Ibu menanyakan persiapanku
menjelang keberangkatanku ke Tangerang.
“Insyaallah,
sampun Bu,” jawabku lirih sambil menunduk. Aku tidak mau Ibu mengetahui
kegundahan hati yang sedang kualami.
Tetapi,
perasaan seorang ibu memang tidak bisa dibohongi. Dengan lembut, Ibu
menghampiriku dan membelai kepalaku.
“Ada
masalah apa, Nduk?”
“Hmm…jujur
saya takut, Bu. Kujawab pertanyaan ibu, sambil menarik nafas dalam.
“Sebentar
lagi, saya harus tinggal di daerah yang jauh dari Bapak dan Ibu.”
Dari kecil sampai berkeluarga, aku
memang tidak pernah tinggal terpisah dari kedua orangtuaku. Besok, untuk
pertama kalinya aku akan tinggal jauh dari mereka. Aku akan pindah ke Tangerang
untuk mengikuti suamiku.
“Wajar
Nduk, kalau kamu takut. Tetapi, insyaallah semua itu akan bisa kamu jalani
dengan baik jika hubunganmu dengan Allah juga baik. Jaga sholatmu, patuhi
suamimu dan didik anakmu dengan baik.” Ibu memberiku nasihat dengan suara
lembut.
“Inggih,
Bu,” jawabku takzim. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.
Ibu
memelukku erat. Di balik pelukannya yang hangat, aku dapat merasakan, bahwa
sebenarnya ibu juga sangat berat berpisah denganku.
“Doakan
Ajeng dan keluarga Ajeng nggih, Bu”, pintaku. Kulihat sambil mata ibu
yang sudah berkaca-kaca.
“Iya
Nduk, insyaallah doa ibu dan bapak selalu menyertai kalian,” jawab Ibu sambil
menahan isak tangis.
“Oh
ya, Nduk, satu lagi pesan Ibu. Nanti kamu akan tinggal di lingkungan yang baru.
Berbuat baiklah kepada tetanggamu. Sebagaimana kata orang dulu, “pagar mangkok”
itu lebih kuat daripada pagar tembok atau pagar besi,” pesan Ibu sambil menyeka
air mata yang membasahi pipinya.
***
Setelah menempuh perjalanan hampir dua
belas jam, aku dan keluarga kecilku tiba di Stasiun Kereta Api Senin. Alhamdulillah,
kereta api yang kami tumpangi tiba tepat waktu. Selama perjalanan Azzam tidak
terlalu rewel dan ia bisa tidur dengan nyenyak. Dari Stasiun Kereta Api Senin,
kami menyewa taksi online untuk melanjutkan perjalanan ke Tangerang.
Pukul 08.23 WIB, kami tiba di
Tangerang. Untuk pertama kalinya aku dan Azzam menginjakkan kaki di kota yang
mendapat julukan Kota Seribu Industri ini. Sedangkan bagi Mas Wahyu ini sudah
kesekian kalinya. Sudah hampir satu tahun, Mas Wahyu bertugas di kota ini.
“Berhenti di sini, Pak?” tanya sopir
taksi online.
“Iya, Pak,” jawab Mas Wahyu.
“Ayo Dik, kita turun di sini!” Mas
Wahyu mengajakku keluar dari mobil.
Kami harus melanjutkan perjalanan
dengan berjalan kaki. Lebar jalan di depan rumah yang akan kami huni hanya satu
meter, sehingga tidak bisa dilewati mobil
“Alhamdulillah, kita sudah sampai
dik,” kata Mas Wahyu di depan sebuah rumah dengan cat warna hijau. Rumah
berukuran enam puluh meter persegi itu sudah tampak rapi dan bersih dari luar,
tidak terlihat seperti rumah yang baru kebanjiran.
“Alhamdulillah,” jawabku sambil
tersenyum bahagia.
***
“Assalamu’alaikum.” Aku mendengar
suara seorang laki-laki mengucap salam di depan pintu rumah kami.
“Wa’alaikumsalam warohmatullahi
wabarokatu,” jawab Mas Wahyu dari ruang tamu.
“Eh…Fatkhur, ayo silahkan masuk,”
ajak Mas Wahyu dengan suara riang.
Mas Wahyu dan Fatkhur duduk
beralaskan tikar di ruang tamu. Teh manis dan opak gambir kuhidangkan
untuk menemani obrolan mereka.
“Selamat datang di Kampung Keramik,
Yu,” kata Fatkhur sambil tersenyum.
“Makasih banyak,” jawab Mas Wahyu
sambil tersenyum.
“Oh ya, bagaimana solusinya untuk
masalah saluran air kemarin?” Mas Wahyu menanyakan kelanjutan kejadian
penutupan saluran air yang terjadi sebelum kepindahan kami.
“Orangnya meminta uang Rp 500.000,-
untuk uang sewa saluran air yang melewati tanahnya,” jawab Fatkhur.
“Begitu ya…Ya sudah, kita ikuti dulu
apa mau mereka. Semoga ke depannya kita bisa menemukan solusi yang lebih baik.”
Mas Wahyu paham situasi yang dihadapinya
sekarang, tidak memberi kemungkinan untuk membuat pilihan. Satu-satunya pilihan
adalah berusaha menempatkan diri sebaik mungkin di lingkungan yang baru.
.Percakapan Mas Wahyu dan Fatkhur berakhir
ketika adzan Maghrib berkumandang.
“Dik, aku dan Azzam salat Maghrib
dulu. Assalamu’alaikum.” Sambil menggandeng Azzam, Mas Wahyu dan Fatkhur menuju
mushola yang berada tidak jauh dari rumah kami.
“Wa’alaikumsalam,” jawabku sambil menutup pintu rumah.
Apakah permasalahan yang dihadapi tokoh cerpen di atas bisa terselesaikan dengan baik? Baca kelanjutannya di Cerpen Inspiratif Pagar Mangkok (Bagian 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar