Bernadzar
Abdul Muthalib bernadzar, "Kalau saja aku mempunyai 10
anak laki-laki, kemudian setelah semuanya dewasa, aku tidak memperoleh anak
lagi seperti ketika sedang menggali Sumur Zamzam, maka salah seorang diantara
10 anak itu akan kusembelih di Ka'bah sebagai kurban untuk Tuhan."
Ternyata takdir memang menentukan demikian. Abdul Muthalib
akhirnya mendapat 10 orang anak laki-laki. Setelah semua anak berangkat dewasa,
ia tidak memperoleh anak. Dipanggilnya kesepuluh orang anak itu, termasuk si
bungsu Abdullah yang amat disayangi dan dicintainya.
"Aku pernah bernadzar untuk menyembelih salah seorang
di antara kalian jika Tuhan memberiku 10 orang anak laki-laki."
Kesepuluh anaknya terdiam. Mereka memahami persoalan itu.
Mereka juga melihat kebingungan yang luar biasa di mata ayah mereka yang
berkaca-kaca.
"Namun, aku tidak bisa menentukan siapa di antara
kalian yang harus kusembelih. Oleh karena, aku berniat memanggil juru qidh
untuk menentukannya."
Di hadapan patung dewa tertinggi Ka'bah, juru qidh (Nanak
panah) meminta setiap anak menulis namanya masing-masing di atas qidh.
Kemudian, ia mengocok anak panah tersebut di hadapan berhala Hubal. Nama anak
yang keluar adalah Abdullah.
Melihat itu, serentak orang orang Quraisy datang dan
melarangnya melakukan perbuatan itu.
"Batalkan keinginanmu, Abdul Muthalib! Mohon ampunlah
kepada Hubal supaya kamu bisa membatalkan nadzarmu!"
Sanggupkah Abdul Muthalib menyembelih anak kesayangannya,
apalagi tidak ada orang yang menyetujui niatnya itu?
Menemukan Zamzam
Malam harinya, dengan tubuh lelah, Abdul Muthalib tertidur.
Tiba-tiba, dalam tidur, dia bermimpi mendengar suara yang bergema
berulang-ulang, "Temukan Sumur Zamzam itu, wahai Abdul Muthalib! Temukan
Sumur Zamzam! Temukan!"
Abdul Muthalib terbangun dengan keyakinan dan semangat baru.
Esoknya, dia mengajak Harits menggali dan menggali lebih giat.
Rasa heran orang-orang Quraisy yang melihatnya berubah
menjadi tawa.
"Kasihan Abdul Muthalib, mungkin dia sudah kehilangan
akal sehatnya!" kata mereka satu sama lain.
Suatu saat, ketika mereka sedang menggali di antara berhala
Isaf dan Na'ila, air membersit.
"Air! Harits! Lihat, ada air!" seru Abdul Muthalib
saking kagetnya.
"Ayo kita gali terus, Ayah! Ayo gali terus!"
Ketika mereka menggali lebih dalam, tampaklah pedang-pedang
dan pelana emas yang pernah ditaruh oleh Mudzaz bin Amr dahulu. Melihat
penemuan itu, orang-orang Quraisy datang berbondong-bondong.
"Abdul Muthalib, mari kita berbagi air dan harta emas
itu!" pinta mereka.
"Tidak! Tetapi, marilah kita mengadu nasib di antara
aku dan kamu sekalian dengan permainan qidh (anak panah). Dua anak panah buat
Ka'bah, dua buat aku, dan dua buat kamu. Kalau anak panah itu keluar, dia
mendapat bagian. Kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa."
Usul ini disetujui. Juru qidh mengundinya di tengah-tengah
berhala di depan Ka'bah. Ternyata, anak panah Quraisy tidak ada yang keluar.
Pemenangnya adalah Abdul Muthalib dan Ka'bah. Oleh karena itu, Abdul Muthalib
dapat meneruskan tugasnya mengurus air dan keperluan para tamu Mekah setelah
Sumur Zamzam memancar kembali.
Mengingat beratnya tugas itu. Abdul Muthalib sangat ingin
agar dia mempunyai banyak anak laki-laki yang dapat membantunya.
Pedang dan Pelana Emas
Abdul Muthalib memasang pedang-pedang itu di pintu Ka'bah,
sedangkan pelana-pelana emas ditaruh di dalam rumah suci itu sebagai perhiasan.
Bersambung
Ditulis oleh Abu
Tsauqi
Referensi
Sirah
Nabawiyah karya Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar